Tulisan ini hadir atas refleksi perkelahian antar angkatan FISIP 2 hari yang lalu (06/oktober/2015)
Bagi banyak orang, sepakbola dianggap sebagai olahraga rakyat. Coba
saja disurvei, pasti mayoritas masyarakat Indonesia akan mengatakan
demikian. Mengapa? Kemungkinan besar karena cuci otak lewat berbagai
siaran langsung di televisi. Mungkin satu-satunya kata yang menyaingi
keterkenalan Raffi Ahmad adalah sepakbola. Namun belakangan ini,
selera sepak bola nasional mengalami penurunan drastis. Tak salah lagi,
pemicunya adalah ketidak becusan PSSI dalam mengelola persepak bolaan
Tanah Air, di tambah lagi konflik PSSI dengan Kemenpora semakin
meruncing dan belum menemui titik temu. Bahkan FIFA selaku
lembaga/organisasi yang menaungi sepak bola dunia belum mengambil sikap
yang tegas terkait persepak bolaan Tanah Air, bahkan FIFA pun juga terserang Patologi Korupsi (untung di Indonesia tidak Begitu)
Jadi, jelas,
sepakbola yang penuh kerja bersama dan koordinasi tidak akan mampu
diterapkan di FISIP karena urusan koordinasi. Tidak nyambung, ya?
Silakan disambung-sambungkan sendiri. Yang jelas para kaum lelaki mulai
agak malas-malasan dengan olahraga yang satu ini. Padahal olahraga ini
mampu meredam segala bentuk ekstriminitas yang kerap merasuki gejolak
kaum muda. Atau dalam syair bang Rhoma di Gambarkan cukup gamblang
melalui lagu Darah Muda. Darah Muda//Darahnya para remaja//Yang selalu
merasa Gagah//Tak pernah mau mengalah//(silakan dilannjutkanlah
sendiri).
Baik kita tinggalkan Sepak Bola dan Dangdut itu. Meski
keduanya adalah media komunikasi paling pas mencairkan suasana serta
ketegangan lintas entnis, angkatan, usia, bahkan agama. Family
Gathering, yang belum sebulan lalu kita laksanakan sepertinya tak punya
effeck dalam meretas kebusukan yang ada di tubuh FISIP. Kegiatan itu
seolah menjadi gaya-gayaan. Bahkan konsensus yang telah disepakati
bersama di lantai 2 kampus UNANDA serta RAPAT AKHIR PANITIA FAMILY
GATHERING terciderai orang-orang telah menyepakatinya.
Ini lebih
parah, lebih hina, lebih jorok, lebih busuk, bahkan lebih menjijikkan
dari para rombongan kucing, atau tikus yang banyak mengais rezeki di
malam hari di tempat sampah. Setahu penulis para rombongan diatas tak
pernah menjilat kembali muntahan mereka. Tetapi kita yang mengklaim diri
sebagai mahluk paling mulia dengan berkah akal fikiran dari sang
pencipta justru menjilati muntahan kita sendiri. Bagi saya,
olahraga yang paling pas untuk meningkatkan prestasi dan mengharumkan
nama FISIP di kampus adalah TINJU. Olahraga yang kerap dikecam karena
sarat kekerasan, bahkan bisa berujung kematian itulah yang paling pas
untuk FISIP ini. Saya berikan alasan mengapa tinju tepat untuk FISIP.
Budaya gerombolan atau tawuran, rasanya makin marak. Dimeriahkan oleh
televisi dan Youtube, dan bahkan telah merambah dunia pendidikan.
Ironisnya, yang terlibat malah bangga karena terkenal. Budaya menindas
orang lain karena jumlah massa, punya kuasa, solidaritas buta dan
sebagainya, membuatnya menjadi marak. Budaya seperti ini harus
dikembangkan, bahkan disebarvdi pelosok negeri. Karena kegiatan ini
dasarnya adalah tinju, dengan prinsip dasar bahwa walau sendiri kita
harus tetap berani. Dengan berlatih tinju sejak dini, anak-anak
dilatih menjadi ksatria di dalam dan di luar ring. Memiliki ‘pegangan’
bela diri individual untuk kesehatan, melindungi orang lain, dan jiwa
berkompetisi. Selain itu, mereka akan diberi pengertian, bahwa aturan
kekerasan adalah aturan yang lebih mulia dari hukum rimba. Anjriiiittt,
miriplah kalian sama artis peran utama di sinetron Ganteng-Ganteng
Seringgila atau Serigala Terakhir bahkan ingin menyaingi aksi di film
Crow Zero.
Tinju adalah olahraga individual yang sangat sarat
pencapaian diri sendiri. Meski demikian, kegiatan ini dapat pula di
lakukan secara berjamah di luar ring karena syarat latihan keras. Dan
tentu sangat jauh dari cap JONES (Jomblo Ngenes) yang selalu sendiri.
Mungkin benarlah pepatah yang mengatakan bahwa malas membaca lebih baik
menjadi petinju. Karena mengasah otak dengan membaca akan membuat kerja
otak menjadi lebih berat, dan berdampak pada anjoknya harga jual otak
di pasaran organ karena kelelahan atau masa kerja telah mengalami
pelemahan. Terakhir, Siapa tahu dengan latihan tinju nasib mereka
dan juga nasib FISIP bahkan negeri ini dapat berubah. Mari bertinju dan
buktikan pada dunia bahwa sebenarnya kita mampu.
0 komentar:
Posting Komentar