Rabu, 30 September 2015

SEKILAS SEJARAH KERAJAAN LUWU








SEKILAS SEJARAH KERAJAAN LUWU
Oleh : Masyudi Martani Padang



“Sebuah Sejarah Tidak Berdiri Sendiri, tanpa ada pengaruh budaya yang mewarnai perjalanan Sejarah itu”



Prolog

Pada Abad Ke-X berdirilah suatu kerajaan di Sulawesi Selatan (Kerajaan Luwu), pada masa ini Kerajaan luwu dipimpin oleh seorang laki-laki tertua dari maha dewa di langit (PatotoE) yaitu “BATARA GURU”. Batara guru diturunkan kebumi dikarenakan pada saat itu Dunia Tengah (Alu Lino) mengalami kegelapan dan kesunyian, manusia pada saat itu tidak lagi menyembah langit sebagai permintaan Pertolongan di dunia dan tidak lagi mempercayai apapun yang ada dilangit . Batara guru di percayai masyarakat Sulawesi selatan khususnya Tana Luwu sebagai Raja Ke-I di Kerajaan luwu, dan merupakan Keturunan Raja-raja besar yang ada disulawesi Selatan .

Penulisan Sejarah Lokal, masih didominasi pengungkapan 3 Kerajaan Besar yang pernah ada di Sulawesi Selatan Yaitu :

1. Sombayya Ri’Gowa (arti: Raja Yang diSembah)

2. MangkauE Ri Bone (Arti: Raja Yang Bertahta)

3. PajungE Ri’Luwu (Arti: dipayungi Raja)

Selain kerajaan-kerajaan besar yang di sebutkan diatas, terdapat pula berbagai kerajaan-kerajaan yang pernah berdiri di Sulawesi selatan yaitu : Kerajaan Tallo, Wajo, Tanete, LimaE’Ajattapareng, Massenrempulu, Galesong, Bangkala, Marusu, Lombasang, dllnya. Namun, kerajaan yang sangat berpengaruh di Sulawesi pada masa itu yang telah disebutkan di atas .



A. Awal Mula Berdirinya Kerajaan Luwu

Berbicara tentang kapan berdirinya Kerajaan Luwu, tidak ada tanggal beserta tahun yang pasti, namun para Ahli sepakat menyatakan bahwa kerajaan luwu berdiri Sekitar Abad Ke-X yang dipimpin oleh Seorang Laki-laki Bernama “BATARA GURU”, kerajaan Luwu baru terungkap secara resmi setelah ditulis oleh Prapanca pada zaman Gajah Mada tahun 1364 M dalam bukunya Negarakertagama bersamaan dengan kerajaan yang ada disulawesi sebagai fase periode kerajaan di Nusantara.tetapi jika bersumber dari data ini maka kerajaan Luwu itu berawal Dari Simpurusiang padahal dalam sumber I Lagaligo terangkan bahwa pemerintahan Luwu pernah dibawah raja yang Bernama Batara Guru dan Batara Lattu. Kerajaan Luwu  juga diperkirakan se-zamandengan kerajaan Sriwijaya dan kerajaan lain di pulau jawa. Dari perkiraan itu sehingga ada yang menduga bahwa kerajaan Luwu sudah ada pada Abad ke-10 dan jika menghitung mundur dari masa pemerintahan Simpurusiang ( raja Luwu III ) yang berkuasa pada Tahun 1268 dengan adanya jarak kekosongan pemerintahan selama 300 tahun maka besar kemungkinan masa pemerintahan Batara Lattu berakhir pada tahun 948 M dimana dalam buku Sarita Pawiloy-Ringkasan Sejarah Luwu dikatakan bahwa Batara Lattu memerintah selama 20 tahun. Dari sumber ini dapat disimpulkan bahwa Batara Guru memerintah pada Tahun Sembilan Ratusan lebih jika menghitung mundur lagi dimasa pemerintahan Batara Lattu. Batara Guru dikisahkan sebagai manusia jelmaan dari dewa yang diturunkan oleh PatotoE kebumi dikarenakan bumi pada Saat itu terjadi Kekosongan, dalam Penafsiran kata ‘Kosong” oleh para Sejarawan yang mengatur kehidupan manusia dari kekecauan (Sianre Bale) di tanah Ware. Adapun latar Belakang diturunkannya Batara Guru kebumi yang menjadi rujukan dalam kitab I Lagaligo sebagai Berikut :

“Empat Manusia Dewa Sebagai Abdi dikerajaan langit, Sepulang dari taruhan permainan Badai, Petir dan Guntur melapor kepada baginda raja penguasa langit yakni dewa PatotoE, Ampun Baginda raja kami baru saja pulang dari dunia tengah (alu Lino) kami melihat bumi dalam kosong”

Mendengar laporan para Abdinya itu membuat raja PatotoE berpikir perlunya mengutus salah satu penghuni langit agar memakmurkan Bumi, selain itu agar bisa berketurunan dan kelak ada yang mengirimkan doa kepada Dewata dikala senang maupun Sulit.

Sebelum diturunkannya Batara guru kebumi, patotoE mengundang seluruh kerajaan yang ada dilangit (Boting Langi) dan yang ada di Laut (Peretiwi/Uri Liu) untuk membicarakan siapa yang diutus untuk turun kebumi, dari kesepakatan antara pasangan raja PatotoE dengan istrinya Datu Palinge maka diputuskanlah bahwa putranyalah yang bernama La Toge Langi yang kemudian dikenal dengan Nama Batara Guru yang diturunkan kebumi disekitaran Kampung “Ussu” yang kala itu masih hutan rimba dimana tempat ini menjadi awal mula pemerintahan “Ware”.

Dalam sejarah digambarkan bahwa sebelum Batara Guru diturunkan Kebumi situasi Masyarakat pada Saat itu dalam ketidak Teraturan, mereka saling menyerang tanpa aturan, mereka saling membunuh, yang kuat memangsa yang lemah, peristiwa ini dikatakan sebagai Persitiwa Sianre Bale. Akibat dari persitiwa itu masyarakat sangat merindukan kedamaian di tengah keterasingan jiwanya, Batara Guru hadir membawa ajaran yang menyangkut hal-hal prinsipil yaitu “Adele”(Adil), “Lempu”(Kejujuran), “Tongeng”(Berkata Benar) dan “Getteng”(Keteguhan), ajaran yang dibawa oleh Batara Guru pada saat itu didukung oleh situasi sehingga ajaran tersebut beserta kebijakan Batara Guru sangat Efektif di Masyarakat.

Dari pernikahannya dengan We Nyiliq Timo, Batara Guru dikarunia seorang anak yang bernama Batara Lattu. Ia merupakan calon pemegang tahta kerajaan Luwu setelah Batara Guru. Ia dilahirkan diistana Ware dilokasi segita ( Bukit Finsemouni- Ussu- Cerekan ). Dalam sumber sejarah dikatakan bahwa ketika Batara Lattu cukup dewasa, dan pemerintahan tegak kembali, Batara Guru memutuskan untuk kembali ke kerajaan Langit. Kekuasaan Ware pun diserahkan kepada Batara Lattu dan tetap dianggap sebagai Dewa .

Setelah Batara Lattu’ cukup dewasa, ia dikawinkan dengan We Datu Sengeng, anak La Urumpassi bersama We Padauleng ditompottikka. Sesudah itu Batara Guru bersama isteri kembali kelangit. Dari perkawinan keduanya lahirlah Sawerigading dan We Tenriabeng sebagai anak kembar emas yaitu seorang laki-laki dan seorang perempuan, Sawerigading lahir pada tahun 564 M.

Sawerigading digambarkan sebagai seorang kapten kapal yang perkasa dan tempat-tempat yang dikunjunginya antara lain adalah Taranate (Ternate di Maluku), Gima (diduga Bima atau Sumbawa), Jawa Rilau' dan Jawa Ritengnga, Jawa Timur dan Tengah), Sunra Rilau' dan Sunra Riaja (kemungkinan Sunda Timur dan Sunda Barat) dan Melaka. Ia juga dikisahkan melawat surga dan alam gaib. Pengikut-pengikut Sawerigading terdiri dari saudara-maranya dari pelbagai rantau dan rombongannya selalu didahului oleh kehadiran tamu-tamu yang aneh-aneh seperti orang bunian, orang berkulit hitam dan orang yang dadanya berbulu.

Sawerigading adalah ayah I La Galigo (yang bergelar Datunna Kelling). I La Galigo, juga seperti ayahnya, adalah seorang kapten kapal, seorang perantau, pahlawan mahir dan perwira yang tiada bandingnya. Ia mempunyai empat orang istri yang berasal dari pelbagai negeri. Seperti ayahnya pula, I La Galigo tidak pernah menjadi raja.
 Anak lelaki I La Galigo yaitu La Tenritatta' adalah yang terakhir di dalam epik itu yang dinobatkan di Luwu'. Isi epik ini merujuk ke masa ketika orang Bugis bermukim di pesisir pantai Sulawesi. Hal ini dibuktikan dengan bentuk setiap kerajaan ketika itu. Pemukiman awal ketika itu berpusat di muara sungai dimana kapal-kapal besar boleh melabuh dan pusat pemerintah terletak berdekatan dengan muara. Pusat pemerintahannya terdiri dari istana dan rumah-rumah para bangsawan. Berdekatan dengan istana terdapat Rumah Dewan (Baruga) yang berfungsi sebagai tempat bermusyawarah dan tempat menyambut pedagang-pedagang asing. 
Kehadiran pedagang-pedagang asing sangat disambut di kerajaan Bugis ketika itu. Setelah membayar cukai, barulah pedagang-pedagang asing itu boleh berniaga. Pemerintah selalu berhak berdagang dengan mereka menggunakan sistem barter, diikuti golongan bangsawan dan kemudian rakyat jelata. Hubungan antara kerajaan adalah melalui jalan laut dan golongan muda bangsawan selalu dianjurkan untuk merantau sejauh yang mungkin sebelum mereka diberikan tanggung jawab. Sawerigading digambarkan sebagai model mereka.

0 komentar:

Posting Komentar