Oleh : angga mayolus
Bahwa ia juga harus merdeka adalah suatu pemahaman yang memiliki sifat dasar yang meragu, ada stigma yang terjadi dalam kemerdekaan individu,berkelompok,berbangsa dan bernegara .
Kata "iya juga" menandakan ada distorsi antara perbedaan jenis dan dua sisi yang berbeda untuk memenuhi kebutuhan kebutuhan kebenaran dan kemerdekaannya.
Bagaimana dengan konsep demokrasi dalam mencapai suatu kemerdekaan berbangsa dan bernegara,
bagaimana dengan negara negara tetangga,seperti singapura, malaisya, republik rakay china, yang kenyataannya telah merdeka tanpa menegakkan demokrasi sepenuhnya, ? Yaa itulah konsekuen konstitusi negara dalam memerdekakan masyarakat indonesia dengan dahlil demokrasi kenyataannya toh dengan memakai dahlil demokrasi tetapi demokrasi itu di pakai oleh mayoritas saja di salah gunakan oleh mereka yang sifatnya patriarkis, Apakah demokrasi itu harus berlandaskan mayoritasnism ? Ataukah kegentingan oleh para patriarkis atau patriarkis yang sedang dalam kegentingan ?
di indonesia sendiri 2 hari lagi masyarakat akan mengulang kembali (1945 - 2017)
Merasakan moment perayaan kemerdekaan dan melaksanakan kegiatan kegiatan dalam panggung kenerdekaan walaupun merayakannya pun dengan cara masing masing yaa itulah budaya demokrasi yang merdeka.(sampai kapan negara harus berdiri dilubang yang sama).
Tulisan ini adalah lanjutan dari tulisan pada saat pena dan kopi masih sama sama berada saat perayaan kemerdekaan yang ke- 71 kemarin .
Kembali ke kepala tulisan, kata "iya juga" adalah kata yang menunjukkan bahwa ada peristiwa yang tersembunyikan dalam pemahaman kemerdekaan indonesia saat ini ,maksud penulis adalah peristiwa sejarah peradaban yang terletak pada telapak tangan manusia yang patriarkis,feodal dan berkoloni tentang perbudakan dan pelecehan terhadap kaum perempuan, mau itu soal APBN, perusahaan perusahaan kapital, politik identitas, jabatan, budaya dan konstitusi negara.
5 bulan yang lalu media mempublikasikan woman march yang ada di jakarta(4 maret 2017) semua kalangan perempuan menempatkan hak haknya atas ketidak adilan yang mereka jalani selama peradaban membuat sejarah, di hadapan dan di tengah tengah usus bumi,
Feminisme adalah sinopsis dari konstruksi besar ketidakadilan. Hanya pada pengalaman perempuanlah seluruh praktik diskriminasi membekas. Seorang perempuan tidak lahir merdeka. Ia lahir dalam stigma bahwa ia berkedudukan di bawah laki-laki. Bahwa ia bukan penyandang hak politik. Bahwa ia bukan pengucap ayat-ayat surga. Bahwa ia bukan pemikir rasional. Bahwa ia harus submisif dalam seks. Bahwa ia jg harus merdeka,
Saya pernah membaca di salah satu website jurnal perempuan tentang, Bagaimana dengan seorang perempuan yang lesbian berkulit hitam dan mempunyai seorang anak 4 yang tinggalnya di jerman ? Ada berapa banyak penderitaan yang dia alami,sebagai seorang perempuan dia hadir ditengah tengah mayoritas kulit putih, hadir sebagai lesbi pada politik heterogen, sebagai perempuan hadir sebagai janda dia harus menghadapi problem ekonomi dan masih banyak lagi, dengan kata lain 1 tubuh perempuan segala jenis ketidak adilan beroprasi pada pengalaman tubuhnya.
Sesungguhnya, pada tubuh perempuan, melekat seluruh jenis ketidakadilan ekonomi, politik, seksual, hukum, kultur, teologi hingga perda-perda misoginis(orang yang membenci wanita), diskriminasi itu membuat kita buta huruf tentang peradaban. Perempuan tak lahir merdeka. Ia lahir untuk memerdekakan dirinya.
Ketajam feminim pun melihat sistem yang terdapat pada perusahaan yang bekerja sama dengan negara dan menjadikan bahan politik untuk mencapai legitimasi bernegara ,seperti kejadian yang di hadapkan kepada sang ibu yang hamil saat palpasi(perabaan terhadap janin yang ada di rahim) digantikan dengan ultrasonografi USG ( teknologi perusaan yang dibuat oleh konsep laki laki yang patriarkis mempunyai alat yang beroprasi pada rahim ibu), juga seorang genocology seorang laki laki dan dokter bayi pun seorang laki laki yang patriarkis, 3 orang laki laki patriarkis beroprasi dalam rahim ibu.
Setelah anak lahir itu di catat dan di atur oleh rumah sakit lalu ke negara dengan rezim pembatasan penduduk,
bisa di pastikan bahwa politik yang patriarkis sudah ditanamkan di rahim ibu.
Melihat kondisi masyarakat saat ini sedang menikmati rezim yang di tawarkan oleh sistem yang rusak, dan pemerintah daerah maupun pusat juga andil dalam perumusan kebijakan yang sifatnya patriarkis.
Belajar dari tokoh seperti charol gilligen yang menawarkan konsep etika kepedulian pada tatanan masyarakat yang berbudaya dan bernegara dalam mencapai keadilan yang merata.
Pemikiran-pemikiran tentang manusia dari berbagai perspektif mengundang
reaksi dengan mempertentangkannya melalui pemikiran yang baru.
Carol Gilligan, salah seorang psikolog dan feminis Amerika, menyatakan bahwa terdapat bias laki-laki dalam psikologi moral. Dalam bukunya Gilligan (1993: 18-23) “in a Different
Voice” yang diterbitkan tahun 1982, mengkritik Kohlberg karena seluruh subjek yang digunakan Kohlberg adalah laki-laki, dianggap tidak mempertimbangkan
perbedaan sosialisasi seorang anak perempuan dan laki laki dalam budaya manusia.
Laki laki secara tradisi terkondisi menjadi otonom dan bebas, sementara perempuan
diandaikan menjadi makhluk yang tergantung dan pasif.
Tak ada keadilan bila tanpa kepedulian, adakah laki laki berjabat berlegitimet dan memiliki identitas, yang siap membunuh kelas arogansinya dalam mengadopsi(karena tidak bisa melahirkan) konsep feminim etis dalam setiap kultur alam bawa sadar idenya.
#merdekahlah dan berterimah kasihlah kepada sipemberi kasih sayang.