SEKILAS SEJARAH KERAJAAN LUWU
Oleh : Masyudi Martani Padang
“Sebuah
Sejarah Tidak Berdiri Sendiri, tanpa ada pengaruh budaya yang mewarnai
perjalanan Sejarah itu”
Prolog
Pada Abad
Ke-X berdirilah suatu kerajaan di Sulawesi Selatan (Kerajaan Luwu), pada masa
ini Kerajaan luwu dipimpin oleh seorang laki-laki tertua dari maha dewa di langit
(PatotoE) yaitu “BATARA GURU”. Batara guru diturunkan kebumi dikarenakan pada
saat itu Dunia Tengah (Alu Lino) mengalami kegelapan dan kesunyian, manusia
pada saat itu tidak lagi menyembah langit sebagai permintaan Pertolongan di dunia
dan tidak lagi mempercayai apapun yang ada dilangit . Batara guru di percayai
masyarakat Sulawesi selatan khususnya Tana Luwu sebagai Raja Ke-I di Kerajaan
luwu, dan merupakan Keturunan Raja-raja besar yang ada disulawesi Selatan .
Penulisan
Sejarah Lokal, masih didominasi pengungkapan 3 Kerajaan Besar yang pernah ada
di Sulawesi Selatan Yaitu :
1. Sombayya
Ri’Gowa (arti: Raja Yang diSembah)
2.
MangkauE Ri Bone (Arti: Raja Yang Bertahta)
3.
PajungE Ri’Luwu (Arti: dipayungi Raja)
Selain kerajaan-kerajaan
besar yang di sebutkan diatas, terdapat pula berbagai kerajaan-kerajaan yang
pernah berdiri di Sulawesi selatan yaitu : Kerajaan Tallo, Wajo, Tanete, LimaE’Ajattapareng,
Massenrempulu, Galesong, Bangkala, Marusu, Lombasang, dllnya. Namun, kerajaan
yang sangat berpengaruh di Sulawesi pada masa itu yang telah disebutkan di atas
.
A. Awal Mula Berdirinya Kerajaan
Luwu
Berbicara
tentang kapan berdirinya Kerajaan Luwu, tidak ada tanggal beserta tahun yang
pasti, namun para Ahli sepakat menyatakan bahwa kerajaan luwu berdiri Sekitar
Abad Ke-X yang dipimpin oleh Seorang Laki-laki Bernama “BATARA GURU”, kerajaan Luwu baru terungkap secara resmi setelah
ditulis oleh Prapanca pada zaman Gajah Mada tahun 1364 M dalam bukunya
Negarakertagama bersamaan dengan kerajaan yang ada disulawesi sebagai fase
periode kerajaan di Nusantara.tetapi jika bersumber dari data ini maka kerajaan
Luwu itu berawal Dari Simpurusiang padahal dalam sumber I Lagaligo terangkan
bahwa pemerintahan Luwu pernah dibawah raja yang Bernama Batara Guru dan Batara
Lattu. Kerajaan Luwu juga diperkirakan se-zamandengan kerajaan Sriwijaya
dan kerajaan lain di pulau jawa. Dari perkiraan itu sehingga ada yang menduga
bahwa kerajaan Luwu sudah ada pada Abad ke-10 dan jika menghitung mundur dari
masa pemerintahan Simpurusiang ( raja Luwu III ) yang berkuasa pada Tahun 1268
dengan adanya jarak kekosongan pemerintahan selama 300 tahun maka besar
kemungkinan masa pemerintahan Batara Lattu berakhir pada tahun 948 M dimana
dalam buku Sarita Pawiloy-Ringkasan Sejarah Luwu dikatakan bahwa
Batara Lattu memerintah selama 20 tahun. Dari sumber ini dapat disimpulkan
bahwa Batara Guru memerintah pada Tahun Sembilan Ratusan lebih jika menghitung
mundur lagi dimasa pemerintahan Batara Lattu. Batara Guru dikisahkan sebagai
manusia jelmaan dari dewa yang diturunkan oleh PatotoE kebumi dikarenakan bumi
pada Saat itu terjadi Kekosongan, dalam Penafsiran kata ‘Kosong” oleh para
Sejarawan yang mengatur kehidupan manusia dari kekecauan (Sianre Bale) di tanah
Ware. Adapun latar Belakang diturunkannya Batara Guru kebumi yang menjadi
rujukan dalam kitab I Lagaligo sebagai Berikut :
“Empat Manusia Dewa
Sebagai Abdi dikerajaan langit, Sepulang dari taruhan permainan Badai, Petir
dan Guntur melapor kepada baginda raja penguasa langit yakni dewa PatotoE,
Ampun Baginda raja kami baru saja pulang dari dunia tengah (alu Lino) kami
melihat bumi dalam kosong”
Mendengar
laporan para Abdinya itu membuat raja PatotoE berpikir perlunya mengutus salah
satu penghuni langit agar memakmurkan Bumi, selain itu agar bisa berketurunan
dan kelak ada yang mengirimkan doa kepada Dewata dikala senang maupun Sulit.
Sebelum diturunkannya
Batara guru kebumi, patotoE mengundang seluruh kerajaan yang ada dilangit
(Boting Langi) dan yang ada di Laut (Peretiwi/Uri Liu) untuk membicarakan siapa
yang diutus untuk turun kebumi, dari kesepakatan antara pasangan raja PatotoE
dengan istrinya Datu Palinge maka diputuskanlah bahwa putranyalah yang bernama
La Toge Langi yang kemudian dikenal dengan Nama Batara Guru yang diturunkan
kebumi disekitaran Kampung “Ussu” yang kala itu masih hutan rimba dimana tempat
ini menjadi awal mula pemerintahan “Ware”.
Dalam sejarah
digambarkan bahwa sebelum Batara Guru diturunkan Kebumi situasi Masyarakat pada
Saat itu dalam ketidak Teraturan, mereka saling menyerang tanpa aturan, mereka
saling membunuh, yang kuat memangsa yang lemah, peristiwa ini dikatakan sebagai
Persitiwa Sianre Bale. Akibat dari persitiwa itu masyarakat sangat merindukan
kedamaian di tengah keterasingan jiwanya, Batara Guru hadir membawa ajaran yang
menyangkut hal-hal prinsipil yaitu “Adele”(Adil), “Lempu”(Kejujuran), “Tongeng”(Berkata
Benar) dan “Getteng”(Keteguhan), ajaran yang dibawa oleh Batara Guru pada saat
itu didukung oleh situasi sehingga ajaran tersebut beserta kebijakan Batara
Guru sangat Efektif di Masyarakat.
Dari
pernikahannya dengan We Nyiliq Timo, Batara Guru dikarunia seorang anak yang
bernama Batara Lattu. Ia merupakan calon pemegang tahta kerajaan Luwu setelah
Batara Guru. Ia dilahirkan diistana Ware dilokasi segita ( Bukit Finsemouni-
Ussu- Cerekan ). Dalam sumber sejarah dikatakan bahwa ketika Batara Lattu cukup
dewasa, dan pemerintahan tegak kembali, Batara Guru memutuskan untuk kembali ke
kerajaan Langit. Kekuasaan Ware pun diserahkan kepada Batara Lattu dan tetap
dianggap sebagai Dewa .
Setelah
Batara Lattu’ cukup dewasa, ia dikawinkan dengan We Datu Sengeng, anak
La Urumpassi bersama We Padauleng ditompottikka. Sesudah itu Batara Guru
bersama isteri kembali kelangit. Dari perkawinan keduanya lahirlah Sawerigading
dan We Tenriabeng sebagai anak kembar emas yaitu seorang laki-laki dan
seorang perempuan, Sawerigading lahir pada tahun 564 M.
Sawerigading digambarkan sebagai seorang kapten kapal yang
perkasa dan tempat-tempat yang dikunjunginya antara lain adalah Taranate (Ternate di Maluku), Gima (diduga Bima
atau Sumbawa), Jawa Rilau' dan Jawa Ritengnga, Jawa Timur dan Tengah), Sunra Rilau' dan Sunra Riaja (kemungkinan Sunda
Timur dan Sunda Barat) dan Melaka. Ia juga dikisahkan melawat surga
dan alam gaib. Pengikut-pengikut Sawerigading terdiri dari saudara-maranya dari
pelbagai rantau dan rombongannya selalu didahului oleh kehadiran tamu-tamu yang
aneh-aneh seperti orang bunian, orang berkulit hitam dan orang yang dadanya
berbulu.
Sawerigading adalah ayah I La Galigo (yang bergelar Datunna Kelling). I La Galigo, juga
seperti ayahnya, adalah seorang kapten kapal, seorang perantau, pahlawan mahir
dan perwira yang tiada bandingnya. Ia mempunyai empat orang istri yang berasal
dari pelbagai negeri. Seperti ayahnya pula, I La Galigo tidak pernah menjadi
raja.
Anak lelaki I La Galigo
yaitu La Tenritatta' adalah yang terakhir di dalam epik itu yang dinobatkan di
Luwu'. Isi epik ini merujuk ke masa ketika orang Bugis
bermukim di pesisir pantai Sulawesi. Hal ini dibuktikan dengan bentuk
setiap kerajaan ketika itu. Pemukiman awal ketika itu berpusat di muara sungai
dimana kapal-kapal besar boleh melabuh dan pusat pemerintah terletak berdekatan
dengan muara. Pusat pemerintahannya terdiri dari istana dan rumah-rumah para
bangsawan. Berdekatan dengan istana terdapat Rumah Dewan (Baruga) yang
berfungsi sebagai tempat bermusyawarah dan tempat menyambut pedagang-pedagang
asing.
Kehadiran pedagang-pedagang asing sangat disambut di kerajaan Bugis
ketika itu. Setelah membayar cukai, barulah pedagang-pedagang asing itu boleh
berniaga. Pemerintah selalu berhak berdagang dengan mereka menggunakan sistem barter, diikuti golongan bangsawan dan kemudian rakyat jelata.
Hubungan antara kerajaan adalah melalui jalan laut dan golongan muda bangsawan
selalu dianjurkan untuk merantau sejauh yang mungkin sebelum mereka diberikan
tanggung jawab. Sawerigading digambarkan sebagai model mereka.