Kamis, 23 Februari 2017

Fudamentalisme Dalam Pusaran Globalisasi

Oleh : Masyudi Martani Padang,  S. AP Fudamentalisme bukanlah baru bagi indonesia, ia sudah sedari dulu ada dan kemungkinannya berakar di seantero negeri, namun kehadirannya bisa kita lihat ketika momentum politik digulir dalam pesta panggung demokrasi (Pilkada, Pilper dan juga Pileg). 

Tidak dapat ditepiskan bahwa arus globalisasi yang tengah marak hari ini membuka keran bagi kelompok-kelompok Fudamentalis agama, arus globalisasi dimanfaatkan oleh kelompok ini tuk menyebarkan ideologi mereka, mulai dari mengagendakan gerakan-gerakan social, memanfaatkan jalur dakwah dan pendidikan serta media sosial sebagai publikasi pemahaman-pemahaman mereka dalam memonopoli kebenaran. 

 Madam ville mengatakan bahwa Globalisasi menambah banyak rentang suara yang bisa diakses seorang muslim sehingga berfungsi mengurangi monopoli ulama tradisional (yang toleran dan moderat) terhadap pengetahuan agama, hasil dari jaringan globalisasi dan arus teknologi itu maka adanya penciptaan apa yang disebut “Umat Virtual” yang melampaui batasn-batasan nasional, bahkan juga batas-batas budaya bahkan melampaui batas-batas kelompok etnik yang berbeda. 

Dalam tulisanya yang berjudul Masa Depan Islam di Indonesia Prof. Dr. Ahmad Syafii Mariif, mengatakan bahwa terdapat 3 teori yang sering dikutip tuk membahas fudamentalisme, yang paling banyak dikutip yakni pertama adalah kegagalan umat islam menghadapi arus modernisasi yang dianggap sebagian umat islam adalah arus yang mengitimidasi dan sangat-sangat menyudutkan dunia Islam, karena tidak mampu menghadapi arus modernisasi tersebut maka kelompok-kelompok fudamentalis mengambil dalil-dalil agama untuk dipergunakan menghalau arus panas tersebut yang Prof. Dr. Ahmad Syafii Mariif sebutkan “Untuk Menghibur Diri”. 

Teori lain mengatakan bahwa membesarnya kelompok Fudamentalisme ini didorong oleh adanya kesempatan yang diberikan oleh globalisasi dalam proses Internasionalisasi atau penyatuan ideologi secara transnasional serta adanya rasa kesetiakawanan atau rasa Solidaritas umat muslim dunia melihat nasib para saudara-saudara muslim yang telah tertimpa musibah peperangan di palestina, Afghanistan, Iraq dan lain-lainnya. 

Perasaan solidaritas ini sebenarnya dimiliki oleh umat muslim didunia namun yang menjadi perbedaanya adalah cara yang ditempuhnya, ada yang lebih memilih berjihad langsung terlibat peperangan dikawasan konflik tersebut dan adapula yang memilih cara diplomatik dengan menghindari cara kekerasan serta selalu menyeruhkan panji-panji perdamaian kepada dunia dan kepada Negara-negara yang bertikai, sekalipun kawasan konflik tersebut sedang memanas dan tidak tertahankan lagi. 

Sedangkan teori yang ketiga khususnya diwilayah Indonesia maraknya kelompok-kelompok fudamentalis ini disebabkan oleh kegagalan Negara dalam mewujudkan cita-cita kemerdekaan berupa tegaknya keadilan dan terciptanya kesejahteraan yang merata bagi seluruh rakyat Indonesia. 

Hukum tumpul keatas tajam kebawah, korupsi yang menggurita, carut-marutnya partai politik yang berlabelkan Islam dan tidak adanya tokoh muslim yang mampu mengakomodasi kepentingan-kepentingan umat muslim yang dapat dipercaya khalayak muslim, hancurnya moral para pejabat-pejabat Negara serta masalah-masalah ekonomi yang menghasilkan kesenjangan sosial adalah bukti nyata kegagalan Negara dalam mewujudkan cita-citanya,

 hal ini lah yang menjadi semakin maraknya masyarakat Indonesia khususnya para muslimin, mengikuti kelompok-kelompok fudamentalis agama yang menempuh jalan pintas bagi tegaknya keadilan yakni menjalankan syariat islam dalam perebutan kekuasaan yang sebagian masyarakat yang lain mengikuti kelompok fudamentalis ini hanya dikarenakan mereka terpesona dan tertarik dengan simbol-simbol keagamaan yang sering dikampanyekan kelompok fudamentalis. 

Walaupun secara Nasional kita lihat bahwa keinginan tuk menegakkan keadilan dengan cara menjalankan syariat islam atau khususnya mendirikan Negara Islam yang akan menggantikan pancasila sebagai dasar bernegara dan berbangsa di Indonesia belum dapat tercapai, maka kelompok fudamentalis ini mengupayakan serta merencanakan mengamademen perundang-undangan dan peraturan lainnya agar sesuai dengan syariat Islam, dengan dasar perkataanya yang biasa kita dengar yakni “Ketika Itu (Sistem Syariat Islam) telah digunakan maka tuhan akan meridhoi Bangsa ini. Wallahu A'lam Bishawab. 

Sistem demokrasi yang merupakan turunan dari arus Globalisasi ini ditentang keras oleh kelompok-kelompok fudamentalis dan sangat anti terhadap sistem demokrasi yang sedang berjalan hari ini, walaupun kita percaya bahwa demokrasi yang diterapkan di Indonesia belum sempurna dan bahkan masih merangkak bak seorang bayi yang tengah belajar berjalan serta masih perlunya penyesuaian terhadap kondisi Ke-Indonesia-an. 

Namun yang mem-bingung-kan adalah kelompok-kelompok fudamentalis ini menggunakan lembaga-lembaga yang demokratis, memanfaatkan regulasi-regulasi yang bersifat demokratis untuk meyalurkan kepentingannya, hal ini secara sederhana memperlihatkan kepada kita bahwa secara teoritis kelompok fudamentalis mengharamkan demokrasi namun secara praksisnya menggunakan demokrasi untuk mencapai tujuannya, secara ungkapan hal ini bisa disebutkan sebagai adanya ketidakjujuran kelompok ini dalam mencapai tujuannya serta tidak matangnya konsep yang ia anut sebagai ideologi maupun yang dijadikan sebagai dogma. Sebenarnya, kalau kita lihat kekuatan umat islam di Indonesia, apa yang menjadi ketakutan kelompok fudamentalis yang dipengaruhi oleh beberapa idiom kelompok fudamentalis garis keras di timur tengah, tentang adanya proses penyudutan dan itimidasi dalam dunia islam yang disebabkan dengan adanya proses modernisasi saat ini, tidaklah harus menjadi ketakutan yang mendalam khususnya di indonesia. Dikarenakan secara Jumlah dan angka Indonesia menjadi Negara yang mayoritas Islam didunia, Indonesia juga tercatat sebagai Negara penganut islam yang moderat, ramah-tamah serta toleran, belum lagi kebanyakan muslim di Indonesia yang telah sukses memajukan peradaban khsusunya dalam perkembangan islam diera modernisasi. Malah sebaliknya, dengan adanya gerakan ekstrimis-teroris yang dihasilkan oleh kelompok-kelompok Fudamentalis malah menjadikan islam sebagai agama yang agresif, eksklusif, intoleran serta tidak memperlihatkan Islam sebagai rahmatan Lil Alamin dikacamata dunia.  Hal ini pula yang akan menghasilkan konflik horizontal antar penganut agama di Indonesia, dan terlebihnya benturan antara kelompok muslim yang tidak menyetujui dengan cara pintas yang dilakukan oleh kelompok fudamentalis ini. Adanya proses kesejarahaan yang panjang di Nusantara serta kemampuan kelompok muslim moderat dan toleran dalam menghubungkan antara Pancasila dan agama yang membuat mereka tidak terlibat dalam kelompok-kelompok Fudamentalis ini. Kelompok muslim moderat dan toleran meyakini bahwa  Prinsip yang tertuang dalam pancasila merefleksikan pesan-pesan utama agama, maka dengan adanya kesadaran demikian mereka menolak pendirian Negara islam atau formalisasi agama dan menekankan subtansinya. 

Dengan adanya kesedaran demikian pula maka Negara diposisikan sebagai institusi yang mengakui keragaman, mengayomi semua kepentingan serta melindungi segenap keyakinan, budaya dan tradisi peninggalan para leluhur bangsa Indonesia. 

Maka dengan ini kelompok moderat dan toleran tidak bisa menerima secara teologis maupun politis apa yang digembor-gemborkan oleh kelompok fudamentalis tentang meneggakkan syariat islam dengan cara mendirikan Negara 


0 komentar:

Posting Komentar